Thursday, 20 November 2008

Ranah Sigading

SDN 04 Ranah Sigading adalah sekolahku yang ke-3, setelah 4 tahun di Kampung Baru dan 1 cawu di Limo Koto. Awalnya aku dan adik-adikku menolak untuk ikut mama ke sekolah baru ini. Namun keengganan kami tidak ada gunanya karena waktu itu tidak ada pilihan lain : kami harus ikut.

Aku tak bisa melupakan saat pertama kali sampai di Ranah Sigading, walaupun hanya berjarak 5 km dari ibukota kabupaten, terasa sekali kalau tempat ini adalah somewhere out there yang rasanya tidak mungkin kami datangi. Jalanan yang rusak dan tidak ada kendaraan umum kecuali pada hari Senin adalah hal yang harus kami hadapi di waktu-waktu berikutnya. Kendaraan hanya bisa melewati jalan sampai Boncah, tempat kantor kepala desa berada. Dari Boncah menuju SD tempat mama mengajar harus berjalan kaki sejauh 1 km dengan jalan tanah, yang pastinya akan sangat becek di kala hujan. Waktu pertama kali datang kami harus ikut mengangkat barang-barang dari truk dengan berjalan kaki hingga ke rumah dinas baru. Dengan perasaan tidak terima, penuh kedongkolan perjalanan 1 km itu terasa tak pernah mencapai akhir.

Aku waktu itu berumur 11 tahun, adik perempuanku 9 tahun dan adik lelakiku 4 tahun.

Kesan pertama dari Ranah Sigading adalah logat bahasanya yang berbeda dari tempat kami sebelumnya. Orang-orang berbicara seperti bernyanyi dengan lenggokan yang khas-yang menurut kami waktu itu kampungan:p-, namun diantara kami semua akulah yang paling cepat menyerap logat ini sehingga dalam waktu tidak terlalu lama aku berbicara hampir seperti penduduk asli. Hal ini menjadi salah satu bahan ledekan dari adik-adikku yang dapat menyebabkan kami berbakuhantam berkelahi.

Baku hantam antara aku dan adik perempuanku-Welia namanya- bukan hal yang luar biasa, hal-hal kecil bisa membuat kami beradu mulut atau bahkan adu fisik. Biasanya aku kalah jahat dalam adu mulut atau adu fisik ini dari Welia, namun aku akan selalu menang jika mengadu pada Mama-panakuik memang-, tak seperti Welia, aku tak bisa mengeluarkan kata-kata yang sangat jahat, sehingga biasanya lebih memilih menangis. Pernah Weli melemparku dengan batu hingga tidak bisa melihat beberapa saat, yang menurut pengakuannya saat itu dia amat sangat ketakutan jika-jika aku akan buta dan dia harus menyerahkan satu matanya untukku. Merobek baju baru atau membakar sepatu adalah hal biasa yang kami lakukan saat berantem hebat. Namun saat mama tak dirumah pada hari Sabtu karena melanjutkan sekolah di Kumanis-jauhnya sekitar 50 km, sehingga tak bisa pulang pergi pada hari yang sama dan baru pulang pada hari minggunya-, kami malah lebih akur dan adik-adik akan tunduk dengan sendirinya.

Pernah suatu kali saat Mama tak dirumah, kami kehabian minyak tanah untuk menyalakan lampu hingga harus tinggal dalam gelap semalaman. Malam gelap selalu terasa lebih panjang, dan akan lebih panik kalau Fendri-adik paling kecil-tiba-tiba rewel. Anak kecil menangis dalam kegelapan bukanlah hal yang menyenangkan. Atau saat ada orang yang mengetuk pintu rumah di tengah malam yang ternyata menitipkan karet hasil sadapan. Jika ada orang mengetuk pintu kami akan diam saja, berpura-pura tidak ada orang di rumah, dan segera meniup lampu simporong agar tak terlihat ada cahaya sehingga mengesankan tidak ada orang dirumah, tetapi hal ini biasanya selalu terlambat.

'Bu, Bu....buka pintu...', cara mereka memanggil. Saat kami hanya diam atau berbisik-bisik menyuruh Fendri diam, biasanya mereka mengerti kalau mama tidak di rumah dan hanya ada anak-anak yang ketakutan, jadi mereka akan menambahkan,'Saya orang baik-baik, cuma mau menitipkan gotah, besok mau dijual, berat kalau harus dibawa lagi ke rumah....', kalau telah ketahuan begini biasanya kami tidak pernah mengaku kalau Mama tidak dirumah. 'Ibu sedang ke seberang ke tempat Icap, buka saja gerbangnya dan taruh gotah-nya, tolong tutup lagi gerbangnya', kami akan menjawab begitu.

Sebenarnya ketakutan kami tidak perlu, setelah tidak tinggal di sana kami menyadari betapa mereka adalah orang-orang yang sangat baik, bersahaja. Mereka adalah petani tulen, yang melihat kekayaan bukan dari uang yang dimiliki, tetapi dari bagaimana menyimpan padi dengan sebaik-baiknya. Mereka dilarang menjual padi, sehingga semua rumah gadang penuh dengan padi, ada yang hingga hampir ke atap, menyebabkan apabila masuk kerumah harus menunduk. Mereka percaya bala akan datang jika ada yang menjual padi. Uang dihasilkan dari membuat tikar anyaman pandan, yang kualitasnya terkenal ke seantero nagari. Selain itu mereka juga menjual buah-buahan yang melimpah di sini, manggis dari Ranah Sigading adalah kualitas ekspor, sementara duriannya amat sangat enaaak.

Disini siapapun boleh mengambil buah dari pohon dimana saja, walaupun itu berada di kebun milik orang lain, dengan syarat mengambil secukupnya saja dan bukan untuk dijual. Namun anehnya, buah dari pohon akan tunduk pada yang empunya. Pernah suatu kali kami berusaha menunggui pohon durian seorang nenek tetangga-tetangga terdekat jarak rumahnya lebih dari 200m, jauuh-, buah pertama yang jatuh ke semak-semak dengan mudah kami temukan, langsung dimakan. Walaupun sebenarnya telah kenyang kami penasaran untuk menunggu buah berikutnya, setidaknya kami pikir bisa untuk dibawa pulang. Begitu buah berikutnya jatuh, kami berusaha mencari lagi. Walaupun melihat dengan jelas jatuh ke arah mana, dicari sampai berputar-putar kami tidak berhasil menemukan, sampai sang nenek pemilik datang, dengan mudahnya memungut ke tempat yang telah kami putari, sambil berkata ringan, ' udah anak-anak, pulang gih, dah nyobain rasa durennya kan?'. hahaha, rada-rada creepy mengingat hal tersebut.

No comments:

Post a Comment