Saturday, 11 March 2017

SHALLOW ECOLOGY ETHIC DAN DEEP ECOLOGY ETHIC

Saya sangat suka kutipan di awal tulisan ini, sehingga saat mendapatkan tugas menulis tentang deep ecology, kutipan ini terasa sangat pas.

--------------------------------------

SHALLOW ECOLOGY ETHIC DAN DEEP ECOLOGY ETHIC : DIMANA POSISI KITA?

STUDI KASUS DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DI INDONESIA

Wira Fitria
Mahasiswa Pasca Sarjana pada Program Multidisiplin Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Paper disampaikan sebagai tugas UTS untuk Mata Kuliah Paradigma dan Etika Lingkungan.

NRP : P052160216

You think you’re any different from me, or your friends, or this tree?
If you listen hard enough, you can hear every living (and non-living-penulis) thing breathing together.
You can feel everything growing.
We’re all living together, even if most folks don’t act like it.
We all have the same root, and we are all branches of the same tree.
(Said Huu-the swampbender- to Aang)
-Avatar Aang,the Last Airbender-

PENDAHULUAN

Kutipan di atas memang terdapat dalam cerita fiksi animasi untuk anak-anak yang juga digemari oleh orang dewasa, namun bagi saya ini merupakan salah satu dari prinsip Deep Ecology Ethics yang benar-benar memiliki arti yang dalam. Menurut Fritjof Capra  dalam bukunya Belonging to the Universe, Exploration to the Frontiers of Science and Spirituality (1991) disebutkan salah satu paradigma baru dalam ilmu pengetahuan adalah pergeseran dari bagian menuju keseluruhan. Dalam paradigma lama  diyakini bahwa dalam setiap sistem yang kompleks, dinamika dari keseluruhannya (the whole) dapat dipahami melalui sifat bagian-bagiannya (the parts). Dalam paradigma baru, hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhannya menjadi terbalik. Sifat bagian-bagian dapat dimengerti hanya melalui dinamika keseluruhannya. Akhirnya, tidak ada bagian-bagian sama sekali. Apa yang kita sebut dengan bagian tidak lain adalah sebuah pola di dalam sebuah jaringan  hubungan-hubungan yang saling terkait tak terpisahkan. Sehingga menurut penulis tepat sekali diksi yang dipilih untuk terjemahan buku ini adalah Menyatu dengan Semesta, dan sangat sesuai dengan kutipan di awal.
Dalam sebuah buku populer, Quantum Ikhlas oleh Erbe Sentanu (2007) disebutkan ringkasan bahwa dari berbagai penelitian tentang fisika kuantum, ditemukan hukum fisika kuantum yang unik dan agak „sulit dipercaya“, diantaranya 1) Di level kuantum sebenarnya tidak ada benda yang padat, semua benda di dunia pada dasarnya terbuat dari „ruang hampa“; 2) Tingkah laku partikel yang berubah-ubah dari benda padat menjadi getaran vibrasi dan sebaliknya tergantung dari “niat” penelitinya; 3) Berlakunya Hukum Ketidakpastian (uncertainty principle), hingga; 4) Hukum Non-lokalitas yang menyatakan bahwa unsur terkecil dari semua benda itu sebenarnya ada di sini dan di mana-mana sekaligus.
Hal ini sejalan dengan “deep ecology“, frase yang pertama kali diperkenalkan oleh filosofis Norwegia Arne Naess pada tahun 1973. Beliau mendefinisikan dasar teorinya sebagai berikut : ilmu ekologi yang concerned hanya kepada fakta dan logika, tidak dapat menjawab pertanyaan etis tentang bagaimana kita harus menjalankan kehidupan, untuk itu kita memerlukan pemahaman kebijaksanaan ekologi. “Deep Ecology“ berusaha membangun hal ini dengan berfokus pada pengalaman mendalam, pertanyaan mendalam dan komitmen mendalam. Deep ecology merupakan ecological philosophy (apa yang dikatakan Naess sebagai Ecosophy) yang menganggap keberadaan manusia sebagai bagian integral dari lingkungan.
Deep ecology dari Arne Naess ini perlu dipahami dalam latar belakang kritiknya terhadap antroposentrisme atau lebih luas dikenal sebagai shallow ecological movement. Menurut Naess, pusat perhatian utama shallow ecological movement adalah bagaimana mengatasi masalah pencemaran dan pengurasan sumber daya alam. Pendekatannya lebih teknis. Bahkan, menurut Naess, salah satu pilar utama shallow ecological movement adalah asumsi bahwa krisis lingkungan merupakan persoalan teknis, yang tidak membutuhkan perubahan dalam kesadaran manusia dan sistem ekonomi (Keraf 2002:81).

Dalam prakteknya di Indonesia, deep ecology sebenarnya telah mengakar dalam kearifan lokal masyarakat adat yang selaras dengan lingkungan. Pada kearifan lokal ini masing-masing masyarakat adat memiliki sistem yang terdiri dari norma yang diyakini dan dilaksanakan, wilayah yang dikelola dan kelembagaan yang dianut turun temurun, walaupun paham ini kemudian menjadi terancam dengan serbuan informasi dari luar. Di sisi lain, gerakan lingkungan mulai tumbuh dan kesadaran untuk best practises semakin meluas.

Tulisan ini mencoba menjawab mengapa aliran Lingkungan Hidup (Environmentalism) dan Modernisasi Ekologi (Ecological Modernization) cenderung digolongkan sebagai wujud praksis dari Shallow Ecology Ethics? Sementara aliran Ekologi (Ecologism) dan Ekologi Politik (Political Ecology) cenderung digolongkan sebagai praksis dari Deep Ecology Ethics? Pendekatan yang akan digunakan adalah bedah program pemerintah dalam hal ini program dan kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, gerakan penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia serta kearifan lokal masyarakat adat.

TINJAUAN PUSTAKA : DEEP ECOLOGY ETHICS DAN SHALLOW ECOLOGY ETHICS, ENVIRONMENTALISM DAN ECOLOGISM, ECOLOGICAL POLITICS DAN ECOLOGY MODERNIZATION

1.      Deep Ecology Ethics dan Shallow Ecology Ethics

Dalam sejarah perkembangan pemikiran di bidang etika lingkungan, kita bisa membedakan beberapa teori etika lingkungan, yang sekaligus menentukan pola perilaku manusia dalam kaitan dengan lingkungan. Pada tempat pertama kita bisa membedakan tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal dengan Shallow Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics dan Deep Environmental Ethics.  Ketiga teori ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara lansung atau tidak langsung. Karena berciri instrumentalistik dan egoistis, teori ini dianggap sebagai sebuah etika lingkungan yang dangkal dan sempit (shallow environmental ethics) (Keraf 2002:31-32).
Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Kedua teori ini mendobrak cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Pada biosentrisme, etika diperluas untuk mencakup komunitas biosentrisme, sementara pada ekosentrisme, etika diperluas untuk mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Deep Ecology menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Selanjutnya dijelaskan bahwa pendukung Deep Ecology percaya bahwa dunia tidak diciptakan sebagai sumberdaya utuk dieksploitasi secara bebas oleh umat manusia. Etika Deep Ecology mempercayai bahwa seluruh sistem bersifat superior pada setiap bagiannya. Mereka menawarkan 8 platform untuk menjelaskan klaim mereka sebagai prinsip-prinsip etika Deep Ecology.
a.       Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan makhluk lain bumi mempunyai nilai pada dirinya sendiri (nilai intrinsik atau nilai inheren). Nilai-nilai ini independen, tidak tergantung dari apakah dunia di luar manusia mempunyai kegunaan atau tidak bagi kehidupan manusia.b.      Kekayaan dan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan mempunyai sumbangsih bagi perwujudan nilai-nilai tersebut dan juga mempunyai nilai pada dirinya  sendiri dan mempunyai sumbangsih bagi perkembangan manusia dan bukan manusia di bumi ini.c.       Manusia tidak mempunyai hak sama sekali untuk mengurangi/mereduksi kekayaan dan keanekaragaman ini kecuali untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya yang vital.d.      Perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaannya berjalan seiring dengan penurunan yang cukup berarti dari jumlah penduduk. Perkembangan kehidupan di luar manusia membutuhkan penurunan jumlah penduduk seperti itu.e.       Campur tangan manusia dewasa ini terhadap dunia di luar manusia sudah sangat berlebihan, dan situasi ini semakin memburuk.f.       Perlu ada perubahan kebijakan, sehingga mempengaruhi struktur ekonomi, teknologi dan ideologi. Hasilnya akan berbeda dari keadaan sekarang ini.g.      Perubahan ideologis terutama menyangkut penghargaan terhadap kualitas kehidupan dan bukan bertahan pada standar kehidupan yang semakin meningkat. Akan muncul kesadaran mengenai perbedaan antara besar (bigèkuantitas) dan megah (greatèkualitas).h.      Orang-orang yang menerima pokok-pokok pemikiran itu mempunyai kewajiban secara langsung atau tidak langsung untuk ikut ambil bagian mewujudkan perubahan-perubahan yang sangat diperlukan (Keraf 2002:84).

2.      Environmentalism dan Ecologism

Sehubungan dengan perkembangan paham atau ideologi lingkungan, dalam bukunya Green Political Thought,  Dobson menyatakan :
environmentalism berpendapat bahwa pendekatan untuk masalah lingkungan adalah pendekatan manajerial, pendukung paham ini merasa aman dengan keyakinan bahwa masalah lingkungan dapat diselesaikan tanpa perubahan mendasar dalam nilai-nilai atau pola produksi dan konsumsi saat ini. Karena environmentalism bukan merupakan bagian dari ecocentrism aliran ini mudah diakomodasi oleh aliran lain (liberalism, conservatism, socialism & feminism).
ecologism menyatakan bahwa  keberlanjutan dan pemenuhan eksistensi mensyaratkan perubahan radikal dalam  hubungan kita dengan alam non-manusia, dan dalam cara kehidupan sosial dan politik. Ecologism bertumpu pada faham ekosentrik sehingga tidak dapat digolongkan ke dalam faham liberalisme, conservatism, sosialisme, dan feminism. Berkali-kali Dobson menyatakan bahwa ecologism merupakan paham yang benar-benar berdiri sendiri.

3.      Ecological Modernization dan Ecological Politics

Dalam pengelolaan lingkungan berkelanjutan dikenal istilah modernisasi ekologi.Modernisasi ekologi melihat  masalah lingkungan adalah hasil struktural masyarakat kapitalis dan  menolak permintaan radikal untuk restrukturisasi fundamental ekonomi pasar & negara demokrasi liberal. Pesan politik modernisasi ekologi adalah kapitalisme dapat dibuat lebih 'ramah lingkungan' dengan reformasi lembaga-lembaga ekonomi, sosial & politik yang ada.
 Sedangkan untuk ecological politics fokus awalnya adalah bagaimana politik untuk akses dan mengontrol  atas tanah dan sumber daya yang terkait dengan perubahan lingkungan. Premis utama dari politik ekologi adalah masalah ekologi adalah inti dari masalah sosial dan politik, bukan masalah teknis atau manajerial, dan karena itu menuntut landasan teoritis untuk menganalisis hubungan yang  kompleks antara sosial, ekonomi, dan hubungan politik di mana perubahan lingkungan tertanam (Murphy A.B. 2005).



PEMBAHASAN

A.     Praksis Aliran Lingkungan Hidup (Environmentalism) dan Modernisasi Ekologi (Ecological Modernization)  di Indonesia

Kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun mulai menimbulkan kesadaran sehingga muncul upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup oleh para pemangku kepentingan. Pada contoh ini penulis membahas praksis Aliran Lingkungan Hidup (environmentalism) yang dilakukan oleh Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dan Praksis Modernisasi Ekologi Pengelolaan Sampah.
1.      Program dan Kegiatan Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
So government ministers do not suddenly become political ecologists by trading in their limousines for hybrid (electric/petrol) cars.-Dobson, 1991-

Menurut Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015-2019, program dan kegiatan teknis Kementerian adalah sebagai berikut.
1. Program Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (P1), dengan kegiatan teknis Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam (K1); Pengelolaan Kawasan Konservasi (K2); Konservasi Spesies dan Genetik (K3); Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi (K4); Pembinaan Konservasi Ekosistem Esensial (K5); Konservasi Sumber Daya Alam Hayati (K6); dan Pengelolaan Taman Nasioal (K7).

2. Program Pengendalian DAS dan Hutan Lindung (P2) dengan kegiatan teknis Pembinaan Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Rehabilitasi Lahan serta Konservasi Tanah dan Air (K1); Pembinaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (K2); Pembinaan Penyelenggaraan Pengelolaan DAS (K3); Pembinaan Pengembangan Perbenihan Tanaman Hutan (K4); Pembinaan Pengendalian Kerusakan Perairan Darat (K5); Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Rehabilitasi Lahan, Perencanaan DAS, serta Pengendalian Kerusakan Perairan Darat (K6); Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan (K7); Penyelenggaraan Pengelolaan Hutan Mangrove (K8); Penyelenggaraan Pengembangan Persuteraan Alam (K9).
.
.
.
11. Program Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (P11) dengan kegiatan teknis  Pengelolaan Sampah (K1); Pengelolaan B3 (K2); Kegiatan Verifikasi Pengelolaan Limbah B3, dan Limbah non B3 (K3); Kegiatan Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 (K4); Kegiatan Pemulihan Kontaminasi dan Tanggap Darurat Limbah B3 (K5).

Merujuk pada program dan kegiatan, terlihat bahwa hampir seluruh program pemerintah bidang lingkungan hidup dan kehutanan berbasis manajemen bukan perubahan perilaku. Misalnya indikator untuk Program Pengendalian Perubahan Iklim adalah 1) penurunan emisi GRK dari sektor kehutanan, gambut dan limbah; 2)luas areal kebakaran hutan dan lahan menurun setiap tahun dan; 3) jumlah wilayah yang memiliki kapasitas adaptasi perubahan iklim meningkat setiap tahun.
Seringkali dalam menetapkan kebijakan terjadi kesalahan dalam perumusan masalah. Apabila hal ini terjadi, sebenarnya yang dilakukan adalah pemindahan beban (masalah), yaitu tindakan pemecahan gejala masalah secara cepat (sementara), yang tanpa disadari akan menimbukan efek samping yang justru akan memperburuk gejala tersebut. Pemecahan gejala masalah seringkali menimbukan efek samping yang akan mengurangi kemampuan atau mengalihkan perhatian kita dari pemecahan masalah mendasar, yang biasanya membutuhkan waktu dan tenaga yang sangat besar. Kita seringkali tidak menyadari bahwa pemecahan masalah mendasar itu dapat menyelesaikan gejala masalah muncul kembali (Muhammadi et al 2001 : 247).
Merujuk kembali pada program pemerintah untuk Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, indikatornya adalah 1) jumlah sampah yang dikelola sebesar 124.6 juta ton di 380 kota; 2) jumlah bahan berbahaya dan beracun yang dikelola sebesar 3 juta ton dalam 5 tahun; 3) jumlah limbah bahan berbahaya dan bercun yang dikelola sebesar 755.595.000 ton dalam 5 tahun. Dengan program ini pemerintah akan terus-menerus bekerja dengan hanya mengelola sampah, padahal bisa jadi  yang sangat diperlukan adalah mengubah paradigma masyarakat luas terhadap sampah. Selama ini paradigma yang diajarkan hanyalah membuang sampah pada tempat sampah, padahal ini paradigma yang sangat usang bila dikaitkan dengan situasi saat ini. Seharusnya yang mulai diajarkan adalah mulai melihat sampah sebagai sesuatu yang berada di luar siklus, selama masih bisa berada dalam siklus bisa jadi belum merupakan sampah. Disinilah pentingnya memilah sampah mulai dari pengguna, dan sesedikit mungkin yang sampai pada pembuangan akhir yang benar-benar merupakan sesuatu yang berada di luar siklus.

1.      Modernisasi Ekologi dalam pengelolaan sampah di sumber sampah

Pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Pemerintah menyadari bahwa pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Sampah telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat.
            Terkait pengelolaan sampah telah mulai terbangun inisiatif-inisiatif pengelolaan sampah di sumber sampah. Sampah organik menjadi pupuk (padat dan cair), biogas dan Energi listrik, Sampah non-Organik diolah, di-recycle atau masuk bank sampah.

Mengapa aliran Lingkungan Hidup (Environmentalism) dan Modernisasi Ekologi (Ecological Modernization) cenderung digolongkan sebagai wujud praksis dari Shallow Ecology Ethics? Menjawab pertanyaan ini kita kembali pada pengertian environmentalism dan modernisasi ekologi. Environmentalism berpendapat bahwa pendekatan untuk masalah lingkungan adalah pendekatan manajerial dan masalah lingkungan dapat diselesaikan tanpa perubahan mendasar dalam nilai-nilai atau pola produksi dan konsumsi saat ini. Modernisasi ekologi melihat  masalah lingkungan adalah hasil struktural masyarakat kapitalis dan  menolak permintaan radikal untuk restrukturisasi fundamental ekonomi pasar & negara demokrasi liberal. Pesan politik modernisasi ekologi adalah kapitalisme dapat dibuat lebih 'ramah lingkungan' dengan reformasi lembaga-lembaga ekonomi, sosial & politik yang ada.
Berdasarkan pengertian dan contoh yang telah disampaikan maka dapat dijawab bahwa environmentalism dan ecological modernization cenderung digolongkan sebagai wujud praksis Shallow Ecology Ethics karena pada tingkat implementasi paham ini, persoalan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dengan pendekatan manajerial, tidak mengubah paradigma. pragmatis serta menganggap manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Salah satu pendukung paham ini adalah Anthony Weston, seorang filsuf Amerika yang lebih pragmatis dan kurang spiritual dibandingkan Naess. Weston, dalam penjelasannya yang disebut Shallow Ecology dalam “Enabling Environmental Practice" tidak setuju bahwa hak-hak perlu diberikan kepada pohon dan organisme lain dalam rangka memperlakukan mereka secara benar, atau bahwa harus ada etika lingkungan untuk pelestarian planet. Dia berpendapat untuk pendekatan pragmatis dalam perbaikan lingkungan bagi generasi mendatang.

A.     Praksis Political Ecology  dalam Kebijakan pengelolaan Hutan Adat dan Ecologism oleh Masyarakat Adat di Indonesia

1.      Praksis Political Ecology dalam Kebijakan Pengelolaan Hutan Adat
Keputusan MK nomor  35 tahun 2012 terhadap perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu menyatakan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara.              
Putusan ini telah berhasil menggerakkan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah untuk mengakui masyarakat adat dalam produk hukum yang lebih konkrit. Dengan inisiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Maret 2013 telah ditandatangani Nota Kesepahaman Bersama (NKB) tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia oleh 12 Kementerian/Lembaga Negara. Dilatarbelakangi Nota Kesepahaman tersebut kemudian disepakati Peraturan Bersama  Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di dalam Kawasan Hutan.
Namun beragam reaksi diperlihatkan oleh para pihak terhadap terbitnya peraturan bersama ini. Menurut Transtoto Handadhari, Ketua Umum Yayasan Green Network Indonesia, Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan dengan jelas menetapkan tata cara pemberian hak atas tanah bagi orang-orang atau kelompok masyarakat yang berada dan menguasai ataupun menggunakan tanah kawasan hutan tanpa batasan-batasan konservasi sekalipun. Sebagai gambaran, semua penguasaan lahan kawasan hutan di semua fungsi hutan, termasuk hutan lindung dan konservasi, akan diakomodasi dalam bentuk penegasan hak dan pengakuan hak atas tanah, ataupun pemberian program pemberdayaan masyarakat di dalam/di sekitar kawasan hutan (Bab III Pasal 8) dengan syarat relatif ringan. Prosedur pelepasan kawasan hutan maupun alih fungsi yang mestinya melibatkan DPR diabaikan. Hal utama lain, Perber ini melihat obyek hukum ”hutan” yang dianggap sama saja dengan tanah lainnya, bukan ”hutan” yang memiliki fungsi khusus, apalagi yang telah dikukuhkan. Hal ini sejalan dengan hasil instrumen simplifikasi regulasi Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan Kementerian PPN/Bappenas yang menyatakan bahwa terdapat lima pasal yang inkonsisten dan konflik dengan peraturan perundangan lain.
Namun pada kenyataan di lapangan, dengan kearifan lokalnya terdapat pengelolaan hutan oleh masyarakat adat yang merupakan praktek pengelolaan hutan lestari. Menurut Kartodihardjo (2012), pengembalian status hutan adat sebagai hak bawaan/hak asal-usul/hak azasi masyarakat adat menjadikan hutan adat setara dengan hutan hak yang secara empiris terbukti mampu berkembang, karena mempunyai pilihan-pilihan dalam menangkap berbagai ragam insentif yang tersedia. Kepastian hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat bukan hanya menjadi modal sosial bagi perwujudan pengelolaan hutan adat secara lestari, namun juga dapat meredam konflik maupun mengurangi open access semua hutan di Indonesia.
Di masa datang, kolaborasi pengelolaan kawasan hutan bersama masyarakat termasuk pengakuan hutan adat diharapkan menjadi salah satu basis dan potensi pembangunan kehutanan.  Pada Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030 disebutkan bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan kawasan dan fungsi hutan sampai dengan tahun 2030 ditempuh melalui upaya penyediaan 5,6 juta hektar untuk keperluan pengembangan hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan desa dan skema-skema lainnya. Melalui peningkatan partisipasi masyarakat dan membangun kolaborasi pengelolaan kawasan hutan bersama masyarakat diharapkan sampai dengan tahun 2030 tidak hanya dapat menyelesaikan konflik kawasan hutan di Indonesia, tetapi juga mampu menciptakan kelembagaan pengelolaan kawasan hutan yang berkelanjutan (institutional sustainability) pada aras mikro dan makro. Pada aras mikro, kelembagaan berkelanjutan pengelolaan kawasan hutan ditargetkan dengan meningkatkan program-program kemitraan sektor kehutanan di kawasan seluas 5,6 juta hektar tersebut yang berbasis pada modal sosial (social capital) komunitas lokal. Pada aras makro, sampai dengan tahun 2030 diwujudkan suatu kelembagaan pengelolaan kawasan dan fungsi hutan.

2.      Kearifan lokal masyarakat adat
Penulis berasal dari ranah minang dan dibesarkan di sebuah desa kecil bernama Ranah Sigading. Masyarakat di Ranah Sigading sangat bersahaja dan dekat dengan alam, mereka hidup berdasarkan kebutuhan dan bukan keinginan. Sebagai petani, pekerjaan utama adalah mengolah sawah, pekerjaan ini dilakukan secara gotong royong dan mereka hanya punya dua musim tanam dalam setahun, musim tanam besar dan kecil. Hasil panen disimpan di dalam rumah gadang dengan sistem yang hampir sama dengan first in first out dan sangat tabu untuk dijual. Hampir sama dengan semua masyarakat adat lainnya yang memiliki kearifan lokal, mereka dipastikan memiliki ketahanan pangan yang sangat tinggi. Hasil panen padi dari tahun ke tahun tidak habis sehingga selalu ada surplus, rumah gadang kemudian semakin tinggi diisi padi yang kadang hampir setinggi rumah. Satu kebiasaan penduduk Ranah Sigading yang berkesan adalah kebiasaan saat panen padi. Orang dewasa yang memanen padi memastikan pada tumpukan jerami hasil panen masih tersisa bulir-bulir padi, walaupun jumlahnya sangat sedikit. Sisa bulir padi ini akan dipisahkan oleh anak-anak dengan menggunakan tumit kaki, mereka menyebutnya “menggirik”. Aktivitas ini sangat menyenangkan untuk anak-anak sekaligus sarana memperkenalkan sawah kepada mereka sehingga mereka mencintai sumber kehidupan mereka tersebut sedari kecil.
Kearifan lokal masyarakat adat lain yang sangat penulis kagumi adalah kearifan masyarakat suku Baduy. Suku Baduy adalah salah satu etnis yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan posisi geografis dan administratif berada di sekitar pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten. Baduy bukanlah merupakan suku terasing, tetapi suku yang sengaja “mengasingkan dirinya” dari kehidupan dunia luar (menghindari modernisasi), menetap dan menutup dirinya dari pengaruh kultur luar yang dianggap negatif dengan satu tujuan untuk menunaikan amanat leluhur dan pusaka karuhun yang mewasiatkan untuk selalu memelihara keseimbangan dan keharmonisan alam semesta. Perilaku kesehariannya lebih mengarah pada ciri-ciri hidup kebegawanan, yaitu hidup sederhana apa adanya, membatasi hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan keduniaan atau materi yang berlebihan, hidup dengan berpedoman pada pikukuh dan kaidah-kaidah yang sarat nasihat dan penuh makna. (Kurnia 2010,8)
Kepatuhan masyarakat Suku Baduy dalam melaksanakan amanat leluhurnya (ngamumule pikukuh karuhun) sangat kuat, ketat, serta tegas, tetapi tidak ada sifat pemaksaan kehendak (bernuansa demokrasi). Ini terbukti dengan filosofi hidup yang begitu arif bijaksana dan berwawasan jauh ke depan serta sikap waspada yang luar biasa (waspada permana tinggal) dari para leluhur mereka. Hal ini dibutikan dengan dibentuknya dua komunitas generasi penerus kesukuan mereka sekaligus dengan aturan hukum adatnya masing-masing yang sarat dengan cirri khas dan perbedaan, namun mampu mengikat menjadi satu kesatuan Baduy yang utuh (Kurnia 2010:9).
Mengapa aliran Ekologi (Ecologism) dan Ekologi Politik (Political Ecology) cenderung digolongkan sebagai praksis dari Deep Ecology Ethics? Menjawab pertanyaan ini kita juga perlu melihat kembali pengertian ecologism dan political ecology. Ecologism menyatakan bahwa  keberlanjutan dan pemenuhan eksistensi mensyaratkan perubahan radikal dalam  hubungan kita dengan alam non-manusia, dan dalam cara kehidupan sosial dan politik. Sedangkan ecological politics berfokus pada bagaimana politik untuk akses dan kontrol  atas tanah dan sumber daya yang terkait dengan perubahan lingkungan.
Apa yang disodorkan oleh biosentrisme dan ekosentrisme sebenarnya hanya revitalisasi cara pandang dan perilaku masyarakat adat dalam interaksinya dengan alam. Dengan kata lain, etika lingkungan hidup yang diperjuangkan dan dibela oleh biosentrisme dan ekosentrisme adalah kembali kepada etika masyarakat adat, yang dipraktikkan oleh hampir semua suku asli di dunia, tetapi tenggelam di tengah dominasi cara pandang dan etika Barat Modern (Keraf 2002: xix).
Aliran Ekologi (Ecologism) dan Ekologi Politik (Political Ecology) cenderung digolongkan sebagai praksis dari Deep Ecology Ethics karena cara pandang ini memenuhi 8 platform yang ditetapkan oleh deep ecology ethics dan menunjukkan kedalaman spiritualitas dimiliki oleh paham ini. Berdasarkan contoh, paling tidak ada perubahan kebijakan dan ideologi yang sedang diusahakan untuk kemaslahatan dan keberlangsungan well-being manusia (terutama masyarakat adat dalam contoh ini) dan alam lingkungannya.

PENUTUP


Terlepas dari dimanapun posisi kita apakah sebagai penganut paham environmentalism ataupun ecologism, etika yang tetap perlu kita terapkan adalah menjaga alam. Menurut agama yang dianut penulis, manusia adalah khalifah di muka bumi. Pun terhadap berbagai kritik terhadap teori antroposentrisme yang dituding sebagai sumber krisis ekologi sekarang ini, terdapat perspektif yang agak lain diantaranya oleh W.H. Murdy dan F.Frase Darling. Menurut Murdy, krisis lingkungan bukan disebabkan oleh pendekatan antroposentris per se, melainkan oleh pendekatan antroposentris yang berlebihan (Keraf 2002:31-41)
Berdasarkan pengertian dan contoh yang telah disampaikan maka dapat dijawab bahwa environmentalism dan ecological modernization cenderung digolongkan sebagai wujud praksis Shallow Ecology Ethics karena pada tingkat implementasi paham ini, persoalan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dengan pendekatan manajerial, tidak mengubah paradigma, pragmatis serta menganggap manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.  Sedangkan aliran Ekologi (Ecologism) dan Ekologi Politik (Political Ecology) cenderung digolongkan sebagai praksis dari Deep Ecology Ethics karena cara pandang ini memenuhi 8 platform yang ditetapkan oleh deep ecology ethics dan menunjukkan kedalaman spiritualitas dimiliki oleh paham ini. Berdasarkan contoh, paling tidak ada perubahan kebijakan dan ideologi yang sedang diusahakan untuk kemaslahatan dan keberlangsungan well-being manusia dan alam lingkungannya.


DAFTAR PUSTAKA

Arizona, Y. 2013. Peluang Hukum Implementasi Putusan MK 35 ke dalam Konteks Kebijakan Pengakuan Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah dalam  Lokakarya “Fakta Tekstual Quo Vadis Hutan Adat Pasca Putusan MK No.35/PUU-X/2012.
Bryant, R.L. and S. Bailey. 1997. Third World Political Ecology. Routledge: London.
Dobson, A. 2007.Green Political Thought.Fourth Edition. Routledge.London
Capra,Fritjof, David Steindl. 1991.Menyatu dengan Semesta: Menyingkap Batas Antara Sains dan Spiritualitas. Jakarta : Fajar Pustaka
Kartodihardjo, H. 2012. Hutan Negara Di Dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat: Doktrin, Fakta Dan Implikasinya Bagi Kelestarian Hutan. https://kartodihardjo.files.wordpress.com/2012/06/uji-materi-uu41-hk.pdf
Keraf , Sony A. 2002.  Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Kurnia, A.Sihabudin A. 2010. Saatnya Baduy Bicara. Jakarta : Bumi  Aksara.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015-2019.
Muhammadi et al. 2001. Analisis Sistem Dinamis. Jakarta :UMJ Press
Simarmata, R. 2013. Putusan MK No.35/PUU-X/2012 : Menggeser corak negara hukum Indonesia. In J. Hakim & L.R. Wibowo, Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan
Sentanu, Erbe.2005. Quantum Ikhlas. Jakarta : Penerbit Elex Media Computindo
Handadhari, T. (2015). Bom Waktu Perusakan Hutan Indonesia. http://sains.kompas.com/read/2015/02/24/21223481/www.kompasprint.com

No comments:

Post a Comment