--------------------------------------
SHALLOW ECOLOGY ETHIC DAN DEEP ECOLOGY ETHIC : DIMANA POSISI KITA?
STUDI KASUS DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DI INDONESIA
Wira Fitria
Mahasiswa Pasca Sarjana pada Program Multidisiplin Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Paper disampaikan sebagai tugas UTS untuk Mata Kuliah Paradigma dan Etika Lingkungan.
Mahasiswa Pasca Sarjana pada Program Multidisiplin Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Paper disampaikan sebagai tugas UTS untuk Mata Kuliah Paradigma dan Etika Lingkungan.
NRP : P052160216
“You think you’re any different from
me, or your friends, or this tree?
If
you listen hard enough, you can hear every living (and non-living-penulis) thing breathing together.
You
can feel everything growing.
We’re
all living together, even if most folks don’t act like it.
We
all have the same root, and we are all branches of the same tree.”
(Said
Huu-the swampbender- to Aang)
-Avatar
Aang,the Last Airbender-
PENDAHULUAN
Kutipan di atas memang terdapat dalam
cerita fiksi animasi untuk anak-anak yang juga digemari oleh orang dewasa,
namun bagi saya ini merupakan salah satu dari prinsip Deep Ecology Ethics yang benar-benar memiliki arti yang dalam.
Menurut Fritjof Capra dalam bukunya Belonging to the Universe, Exploration to
the Frontiers of Science and Spirituality (1991) disebutkan salah satu
paradigma baru dalam ilmu pengetahuan adalah pergeseran dari bagian menuju
keseluruhan. Dalam paradigma lama
diyakini bahwa dalam setiap sistem yang kompleks, dinamika dari
keseluruhannya (the whole) dapat
dipahami melalui sifat bagian-bagiannya (the
parts). Dalam paradigma baru, hubungan antara bagian-bagian dengan
keseluruhannya menjadi terbalik. Sifat bagian-bagian dapat dimengerti hanya
melalui dinamika keseluruhannya. Akhirnya, tidak ada bagian-bagian sama sekali.
Apa yang kita sebut dengan bagian tidak lain adalah sebuah pola di dalam sebuah
jaringan hubungan-hubungan yang saling
terkait tak terpisahkan. Sehingga menurut penulis tepat sekali diksi yang
dipilih untuk terjemahan buku ini adalah Menyatu dengan Semesta, dan sangat
sesuai dengan kutipan di awal.
Dalam sebuah buku populer, Quantum
Ikhlas oleh Erbe Sentanu (2007) disebutkan ringkasan bahwa dari berbagai
penelitian tentang fisika kuantum, ditemukan hukum fisika kuantum yang unik dan
agak „sulit dipercaya“, diantaranya 1) Di level kuantum sebenarnya tidak ada
benda yang padat, semua benda di dunia pada dasarnya terbuat dari „ruang
hampa“; 2) Tingkah laku partikel yang berubah-ubah dari benda padat menjadi
getaran vibrasi dan sebaliknya tergantung dari “niat” penelitinya; 3)
Berlakunya Hukum Ketidakpastian (uncertainty
principle), hingga; 4) Hukum Non-lokalitas yang menyatakan bahwa unsur
terkecil dari semua benda itu sebenarnya ada di sini dan di mana-mana
sekaligus.
Hal ini sejalan dengan “deep ecology“, frase yang pertama kali
diperkenalkan oleh filosofis Norwegia Arne Naess pada tahun 1973. Beliau
mendefinisikan dasar teorinya sebagai berikut : ilmu ekologi yang concerned hanya kepada fakta dan logika,
tidak dapat menjawab pertanyaan etis tentang bagaimana kita harus menjalankan
kehidupan, untuk itu kita memerlukan pemahaman kebijaksanaan ekologi. “Deep Ecology“ berusaha membangun hal ini
dengan berfokus pada pengalaman mendalam, pertanyaan mendalam dan komitmen
mendalam. Deep ecology merupakan ecological philosophy (apa yang
dikatakan Naess sebagai Ecosophy)
yang menganggap keberadaan manusia sebagai bagian integral dari lingkungan.
Deep
ecology
dari Arne Naess ini perlu dipahami dalam latar belakang kritiknya terhadap
antroposentrisme atau lebih luas dikenal sebagai shallow ecological movement. Menurut Naess, pusat perhatian utama shallow ecological movement adalah
bagaimana mengatasi masalah pencemaran dan pengurasan sumber daya alam.
Pendekatannya lebih teknis. Bahkan, menurut Naess, salah satu pilar utama shallow ecological movement adalah asumsi
bahwa krisis lingkungan merupakan persoalan teknis, yang tidak membutuhkan
perubahan dalam kesadaran manusia dan sistem ekonomi (Keraf 2002:81).
Dalam prakteknya di Indonesia, deep ecology sebenarnya telah mengakar
dalam kearifan lokal masyarakat adat yang selaras dengan lingkungan. Pada
kearifan lokal ini masing-masing masyarakat adat memiliki sistem yang terdiri
dari norma yang diyakini dan dilaksanakan, wilayah yang dikelola dan kelembagaan
yang dianut turun temurun, walaupun paham ini kemudian menjadi terancam dengan
serbuan informasi dari luar. Di sisi lain, gerakan lingkungan mulai tumbuh dan
kesadaran untuk best practises
semakin meluas.
Tulisan
ini mencoba menjawab mengapa aliran Lingkungan Hidup (Environmentalism)
dan Modernisasi Ekologi (Ecological Modernization) cenderung digolongkan
sebagai wujud praksis dari Shallow Ecology Ethics? Sementara aliran
Ekologi (Ecologism) dan Ekologi Politik (Political Ecology)
cenderung digolongkan sebagai praksis dari Deep Ecology Ethics? Pendekatan yang akan digunakan adalah bedah
program pemerintah dalam hal ini program dan kebijakan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, gerakan penyelamatan lingkungan hidup di Indonesia serta
kearifan lokal masyarakat adat.
TINJAUAN PUSTAKA : DEEP ECOLOGY ETHICS DAN SHALLOW
ECOLOGY ETHICS, ENVIRONMENTALISM DAN ECOLOGISM, ECOLOGICAL POLITICS DAN
ECOLOGY MODERNIZATION
1. Deep Ecology Ethics dan Shallow Ecology
Ethics
Dalam sejarah
perkembangan pemikiran di bidang etika lingkungan, kita bisa membedakan
beberapa teori etika lingkungan, yang sekaligus menentukan pola perilaku
manusia dalam kaitan dengan lingkungan. Pada tempat pertama kita bisa
membedakan tiga model teori etika lingkungan, yaitu yang dikenal dengan Shallow
Environmental Ethics, Intermediate Environmental Ethics dan Deep
Environmental Ethics. Ketiga teori
ini juga dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme.
Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai
pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling
menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam
kaitan dengan alam, baik secara lansung atau tidak langsung. Karena berciri
instrumentalistik dan egoistis, teori ini dianggap sebagai sebuah etika
lingkungan yang dangkal dan sempit (shallow environmental ethics) (Keraf
2002:31-32).
Ekosentrisme
merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan biosentrisme. Kedua teori ini
mendobrak cara pandang antroposentrisme yang membatasi keberlakuan etika hanya
pada komunitas manusia. Pada biosentrisme, etika diperluas untuk mencakup
komunitas biosentrisme, sementara pada ekosentrisme, etika diperluas untuk
mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Deep Ecology menuntut suatu
etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup
seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan hidup. Selanjutnya
dijelaskan bahwa pendukung Deep Ecology
percaya bahwa dunia tidak diciptakan sebagai sumberdaya utuk dieksploitasi
secara bebas oleh umat manusia. Etika Deep
Ecology mempercayai bahwa seluruh sistem bersifat superior pada setiap
bagiannya. Mereka menawarkan 8 platform untuk menjelaskan klaim mereka sebagai
prinsip-prinsip etika Deep Ecology.
a. Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan
makhluk lain bumi mempunyai nilai pada dirinya sendiri (nilai intrinsik atau
nilai inheren). Nilai-nilai ini independen, tidak tergantung dari apakah dunia
di luar manusia mempunyai kegunaan atau tidak bagi kehidupan manusia.b. Kekayaan dan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan mempunyai
sumbangsih bagi perwujudan nilai-nilai tersebut dan juga mempunyai nilai pada
dirinya sendiri dan mempunyai sumbangsih
bagi perkembangan manusia dan bukan manusia di bumi ini.c. Manusia tidak mempunyai hak sama sekali untuk
mengurangi/mereduksi kekayaan dan keanekaragaman ini kecuali untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya yang vital.d. Perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaannya berjalan
seiring dengan penurunan yang cukup berarti dari jumlah penduduk. Perkembangan
kehidupan di luar manusia membutuhkan penurunan jumlah penduduk seperti itu.e. Campur tangan manusia dewasa ini terhadap dunia di luar
manusia sudah sangat berlebihan, dan situasi ini semakin memburuk.f. Perlu ada perubahan kebijakan, sehingga mempengaruhi
struktur ekonomi, teknologi dan ideologi. Hasilnya akan berbeda dari keadaan
sekarang ini.g. Perubahan ideologis terutama menyangkut penghargaan
terhadap kualitas kehidupan dan bukan bertahan pada standar kehidupan yang
semakin meningkat. Akan muncul kesadaran mengenai perbedaan antara besar (bigèkuantitas) dan megah (greatèkualitas).h. Orang-orang yang menerima pokok-pokok pemikiran itu
mempunyai kewajiban secara langsung atau tidak langsung untuk ikut ambil bagian
mewujudkan perubahan-perubahan yang sangat diperlukan (Keraf 2002:84).
2. Environmentalism dan Ecologism
Sehubungan
dengan perkembangan paham atau ideologi lingkungan, dalam bukunya Green
Political Thought, Dobson menyatakan
:
environmentalism berpendapat bahwa pendekatan untuk masalah lingkungan
adalah pendekatan manajerial, pendukung paham
ini merasa aman dengan keyakinan bahwa masalah lingkungan dapat diselesaikan tanpa perubahan mendasar dalam
nilai-nilai atau pola produksi dan konsumsi saat ini.
Karena environmentalism bukan merupakan bagian dari ecocentrism aliran
ini mudah diakomodasi oleh aliran lain (liberalism,
conservatism, socialism & feminism).
ecologism menyatakan bahwa keberlanjutan dan pemenuhan eksistensi
mensyaratkan perubahan radikal dalam hubungan kita dengan alam non-manusia, dan
dalam cara
kehidupan sosial dan politik. Ecologism bertumpu pada faham ekosentrik
sehingga tidak dapat digolongkan ke dalam faham liberalisme, conservatism,
sosialisme, dan feminism. Berkali-kali
Dobson menyatakan bahwa ecologism merupakan paham yang benar-benar
berdiri sendiri.
3. Ecological Modernization dan Ecological
Politics
Dalam
pengelolaan lingkungan berkelanjutan dikenal istilah modernisasi ekologi.Modernisasi
ekologi melihat masalah lingkungan adalah hasil struktural masyarakat kapitalis dan
menolak permintaan radikal untuk restrukturisasi
fundamental ekonomi pasar & negara demokrasi liberal. Pesan politik modernisasi
ekologi adalah kapitalisme dapat dibuat lebih 'ramah lingkungan' dengan
reformasi lembaga-lembaga ekonomi, sosial & politik yang ada.
Sedangkan untuk ecological politics fokus awalnya adalah bagaimana politik untuk akses dan mengontrol
atas tanah dan sumber daya yang terkait dengan perubahan lingkungan. Premis utama
dari politik ekologi adalah masalah ekologi
adalah inti dari masalah
sosial dan politik, bukan masalah teknis atau manajerial, dan karena itu menuntut landasan teoritis untuk menganalisis hubungan yang kompleks antara sosial, ekonomi, dan hubungan politik di mana perubahan lingkungan tertanam (Murphy A.B. 2005).
PEMBAHASAN
A.
Praksis Aliran Lingkungan Hidup (Environmentalism)
dan Modernisasi Ekologi (Ecological Modernization) di Indonesia
Kualitas lingkungan hidup yang
semakin menurun mulai menimbulkan kesadaran sehingga muncul upaya perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup oleh para pemangku kepentingan. Pada contoh
ini penulis membahas praksis Aliran Lingkungan Hidup (environmentalism) yang dilakukan oleh Pemerintah (dalam hal ini
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), dan Praksis Modernisasi Ekologi Pengelolaan
Sampah.
1.
Program dan Kegiatan Teknis Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan
So government ministers do not suddenly
become political ecologists by trading in their limousines for hybrid
(electric/petrol) cars.-Dobson, 1991-
Menurut Rencana Strategis Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015-2019, program dan kegiatan teknis
Kementerian adalah sebagai berikut.
1. Program Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (P1), dengan kegiatan teknis Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam (K1); Pengelolaan Kawasan Konservasi (K2); Konservasi Spesies dan Genetik (K3); Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi (K4); Pembinaan Konservasi Ekosistem Esensial (K5); Konservasi Sumber Daya Alam Hayati (K6); dan Pengelolaan Taman Nasioal (K7).
2. Program Pengendalian DAS dan Hutan Lindung (P2) dengan kegiatan teknis Pembinaan Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Rehabilitasi Lahan serta Konservasi Tanah dan Air (K1); Pembinaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (K2); Pembinaan Penyelenggaraan Pengelolaan DAS (K3); Pembinaan Pengembangan Perbenihan Tanaman Hutan (K4); Pembinaan Pengendalian Kerusakan Perairan Darat (K5); Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan, Rehabilitasi Lahan, Perencanaan DAS, serta Pengendalian Kerusakan Perairan Darat (K6); Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan (K7); Penyelenggaraan Pengelolaan Hutan Mangrove (K8); Penyelenggaraan Pengembangan Persuteraan Alam (K9).
.
.
.
11. Program Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (P11) dengan kegiatan teknis Pengelolaan Sampah (K1); Pengelolaan B3 (K2); Kegiatan Verifikasi Pengelolaan Limbah B3, dan Limbah non B3 (K3); Kegiatan Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 (K4); Kegiatan Pemulihan Kontaminasi dan Tanggap Darurat Limbah B3 (K5).
Merujuk pada
program dan kegiatan, terlihat bahwa hampir seluruh program
pemerintah bidang lingkungan hidup dan kehutanan berbasis manajemen bukan perubahan perilaku. Misalnya
indikator untuk Program Pengendalian Perubahan Iklim adalah 1) penurunan emisi
GRK dari sektor kehutanan, gambut dan limbah; 2)luas areal kebakaran hutan dan
lahan menurun setiap tahun dan; 3) jumlah wilayah yang memiliki kapasitas
adaptasi perubahan iklim meningkat setiap tahun.
Seringkali
dalam menetapkan kebijakan terjadi kesalahan dalam perumusan masalah. Apabila
hal ini terjadi, sebenarnya yang dilakukan adalah pemindahan beban (masalah),
yaitu tindakan pemecahan gejala masalah secara cepat (sementara), yang tanpa
disadari akan menimbukan efek samping yang justru akan memperburuk gejala
tersebut. Pemecahan gejala masalah seringkali menimbukan efek samping yang akan
mengurangi kemampuan atau mengalihkan perhatian kita dari pemecahan masalah
mendasar, yang biasanya membutuhkan waktu dan tenaga yang sangat besar. Kita
seringkali tidak menyadari bahwa pemecahan masalah mendasar itu dapat
menyelesaikan gejala masalah muncul kembali (Muhammadi et al 2001 : 247).
Merujuk
kembali pada program pemerintah untuk Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3,
indikatornya adalah 1)
jumlah sampah yang dikelola sebesar 124.6 juta ton di 380 kota; 2) jumlah bahan
berbahaya dan beracun yang dikelola sebesar 3 juta ton dalam 5 tahun; 3) jumlah
limbah bahan berbahaya dan bercun yang dikelola sebesar 755.595.000 ton dalam 5
tahun. Dengan program ini pemerintah akan terus-menerus bekerja dengan hanya
mengelola sampah, padahal bisa jadi yang
sangat diperlukan adalah mengubah paradigma masyarakat luas terhadap sampah.
Selama ini paradigma yang diajarkan hanyalah membuang sampah pada tempat sampah,
padahal ini paradigma yang sangat usang bila dikaitkan dengan situasi saat ini.
Seharusnya yang mulai diajarkan adalah mulai melihat sampah sebagai sesuatu
yang berada di luar siklus, selama masih bisa berada dalam siklus bisa jadi
belum merupakan sampah. Disinilah pentingnya memilah sampah mulai dari
pengguna, dan sesedikit mungkin yang sampai pada pembuangan akhir yang
benar-benar merupakan sesuatu yang berada di luar siklus.
1.
Modernisasi Ekologi dalam pengelolaan sampah di
sumber sampah
Pertambahan
penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya
volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Pemerintah
menyadari bahwa pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan
teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan
dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Sampah telah
menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara
komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat secara
ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah
perilaku masyarakat.
Terkait pengelolaan sampah telah
mulai terbangun inisiatif-inisiatif pengelolaan sampah di sumber sampah. Sampah organik menjadi pupuk (padat
dan cair), biogas dan Energi listrik, Sampah non-Organik diolah, di-recycle
atau masuk bank sampah.
Mengapa
aliran Lingkungan Hidup (Environmentalism) dan Modernisasi Ekologi (Ecological
Modernization) cenderung digolongkan sebagai wujud praksis dari Shallow
Ecology Ethics? Menjawab
pertanyaan ini kita kembali pada pengertian environmentalism dan modernisasi ekologi.
Environmentalism berpendapat bahwa pendekatan untuk masalah lingkungan adalah pendekatan
manajerial dan masalah lingkungan
dapat diselesaikan tanpa perubahan mendasar dalam nilai-nilai atau pola produksi dan konsumsi
saat ini.
Modernisasi ekologi melihat masalah lingkungan adalah hasil struktural
masyarakat kapitalis dan menolak
permintaan radikal untuk restrukturisasi fundamental ekonomi pasar & negara
demokrasi liberal. Pesan politik modernisasi ekologi
adalah kapitalisme dapat dibuat lebih
'ramah lingkungan' dengan reformasi lembaga-lembaga ekonomi, sosial &
politik yang ada.
Berdasarkan
pengertian dan contoh yang telah disampaikan maka dapat dijawab bahwa environmentalism dan ecological modernization cenderung
digolongkan sebagai wujud praksis Shallow
Ecology Ethics karena pada tingkat implementasi paham ini, persoalan
lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan dengan pendekatan
manajerial, tidak mengubah paradigma. pragmatis serta menganggap manusia
sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Salah satu pendukung
paham ini adalah Anthony Weston,
seorang filsuf Amerika yang lebih pragmatis dan kurang
spiritual dibandingkan Naess.
Weston, dalam penjelasannya yang disebut Shallow Ecology dalam “Enabling Environmental Practice" tidak setuju bahwa hak-hak perlu diberikan kepada
pohon dan organisme lain dalam rangka memperlakukan mereka secara benar, atau bahwa harus ada etika lingkungan untuk
pelestarian planet. Dia berpendapat untuk pendekatan pragmatis dalam
perbaikan lingkungan bagi generasi mendatang.
A. Praksis Political Ecology dalam Kebijakan pengelolaan Hutan Adat dan Ecologism oleh Masyarakat Adat di Indonesia
1.
Praksis Political Ecology dalam Kebijakan
Pengelolaan Hutan Adat
Keputusan MK nomor
35 tahun 2012 terhadap
perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan
Cisitu menyatakan bahwa hutan adat bukan merupakan hutan negara.
Putusan
ini telah berhasil menggerakkan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah untuk mengakui masyarakat adat dalam produk hukum yang lebih
konkrit. Dengan inisiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Maret
2013 telah ditandatangani Nota Kesepahaman Bersama (NKB) tentang Percepatan
Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia oleh 12 Kementerian/Lembaga Negara.
Dilatarbelakangi Nota Kesepahaman tersebut kemudian disepakati Peraturan Bersama
Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 79 Tahun
2014 Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang
Berada di dalam Kawasan Hutan.
Namun
beragam reaksi diperlihatkan oleh para pihak terhadap terbitnya peraturan
bersama ini. Menurut Transtoto Handadhari, Ketua
Umum Yayasan Green
Network Indonesia, Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang Berada di Dalam Kawasan Hutan dengan
jelas menetapkan tata cara pemberian hak atas tanah bagi orang-orang atau
kelompok masyarakat yang berada dan menguasai ataupun menggunakan tanah kawasan
hutan tanpa batasan-batasan konservasi sekalipun. Sebagai gambaran, semua
penguasaan lahan kawasan hutan di semua fungsi hutan, termasuk hutan lindung
dan konservasi, akan diakomodasi dalam bentuk penegasan hak dan pengakuan hak
atas tanah, ataupun pemberian program pemberdayaan masyarakat di dalam/di
sekitar kawasan hutan (Bab III Pasal 8) dengan syarat relatif ringan. Prosedur
pelepasan kawasan hutan maupun alih fungsi yang mestinya melibatkan DPR
diabaikan. Hal utama lain, Perber ini melihat obyek hukum ”hutan” yang dianggap
sama saja dengan tanah lainnya, bukan ”hutan” yang memiliki fungsi khusus,
apalagi yang telah dikukuhkan. Hal ini sejalan dengan hasil instrumen
simplifikasi regulasi Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan
Kementerian PPN/Bappenas yang menyatakan bahwa terdapat lima pasal yang
inkonsisten dan konflik dengan peraturan perundangan lain.
Namun
pada kenyataan di lapangan, dengan kearifan lokalnya terdapat pengelolaan hutan
oleh masyarakat adat yang merupakan praktek pengelolaan hutan lestari. Menurut
Kartodihardjo (2012), pengembalian status hutan adat sebagai hak bawaan/hak
asal-usul/hak azasi masyarakat adat menjadikan
hutan adat setara dengan hutan hak yang secara empiris terbukti mampu
berkembang, karena mempunyai pilihan-pilihan dalam menangkap berbagai ragam
insentif yang tersedia. Kepastian hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan
hutan adat bukan hanya menjadi modal sosial bagi perwujudan pengelolaan hutan
adat secara lestari, namun juga dapat meredam konflik maupun mengurangi open
access semua hutan di Indonesia.
Di
masa datang, kolaborasi pengelolaan kawasan hutan bersama masyarakat termasuk
pengakuan hutan adat diharapkan menjadi salah satu basis dan potensi
pembangunan kehutanan. Pada Rencana
Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030 disebutkan bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemanfaatan kawasan dan fungsi
hutan sampai dengan tahun 2030 ditempuh melalui upaya penyediaan 5,6 juta
hektar untuk keperluan pengembangan hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat,
hutan desa dan skema-skema lainnya. Melalui peningkatan partisipasi
masyarakat dan membangun kolaborasi pengelolaan kawasan hutan bersama
masyarakat diharapkan sampai dengan tahun 2030 tidak hanya dapat menyelesaikan
konflik kawasan hutan di Indonesia, tetapi juga mampu menciptakan kelembagaan
pengelolaan kawasan hutan yang berkelanjutan (institutional sustainability)
pada aras mikro dan makro. Pada aras mikro, kelembagaan berkelanjutan
pengelolaan kawasan hutan ditargetkan dengan meningkatkan program-program
kemitraan sektor kehutanan di kawasan seluas 5,6 juta hektar tersebut yang
berbasis pada modal sosial (social capital) komunitas lokal. Pada aras
makro, sampai dengan tahun 2030 diwujudkan suatu kelembagaan pengelolaan
kawasan dan fungsi hutan.
2.
Kearifan
lokal masyarakat adat
Penulis berasal dari ranah minang
dan dibesarkan di sebuah desa kecil bernama Ranah Sigading. Masyarakat di Ranah
Sigading sangat bersahaja dan dekat dengan alam, mereka hidup berdasarkan
kebutuhan dan bukan keinginan. Sebagai petani, pekerjaan utama adalah mengolah
sawah, pekerjaan ini dilakukan secara gotong royong dan mereka hanya punya dua
musim tanam dalam setahun, musim tanam besar dan kecil. Hasil panen disimpan di
dalam rumah gadang dengan sistem yang hampir sama dengan first in first out dan sangat tabu untuk dijual. Hampir sama dengan
semua masyarakat adat lainnya yang memiliki kearifan lokal, mereka dipastikan
memiliki ketahanan pangan yang sangat tinggi. Hasil panen padi dari tahun ke
tahun tidak habis sehingga selalu ada surplus, rumah gadang kemudian semakin
tinggi diisi padi yang kadang hampir setinggi rumah. Satu kebiasaan penduduk
Ranah Sigading yang berkesan adalah kebiasaan saat panen padi. Orang dewasa
yang memanen padi memastikan pada tumpukan jerami hasil panen masih tersisa
bulir-bulir padi, walaupun jumlahnya sangat sedikit. Sisa bulir padi ini akan
dipisahkan oleh anak-anak dengan menggunakan tumit kaki, mereka menyebutnya
“menggirik”. Aktivitas ini sangat menyenangkan untuk anak-anak sekaligus sarana
memperkenalkan sawah kepada mereka sehingga mereka mencintai sumber kehidupan
mereka tersebut sedari kecil.
Kearifan lokal masyarakat adat lain
yang sangat penulis kagumi adalah kearifan masyarakat suku Baduy. Suku Baduy
adalah salah satu etnis yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia dengan posisi geografis dan administratif berada di sekitar
pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Banten. Baduy bukanlah
merupakan suku terasing, tetapi suku yang sengaja “mengasingkan dirinya” dari
kehidupan dunia luar (menghindari modernisasi), menetap dan menutup dirinya
dari pengaruh kultur luar yang dianggap negatif dengan satu tujuan untuk
menunaikan amanat leluhur dan pusaka karuhun yang mewasiatkan untuk selalu
memelihara keseimbangan dan keharmonisan alam semesta. Perilaku kesehariannya
lebih mengarah pada ciri-ciri hidup kebegawanan, yaitu hidup sederhana apa
adanya, membatasi hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan keduniaan
atau materi yang berlebihan, hidup dengan berpedoman pada pikukuh dan
kaidah-kaidah yang sarat nasihat dan penuh makna. (Kurnia 2010,8)
Kepatuhan masyarakat Suku Baduy
dalam melaksanakan amanat leluhurnya (ngamumule
pikukuh karuhun) sangat kuat, ketat, serta tegas, tetapi tidak ada sifat
pemaksaan kehendak (bernuansa demokrasi). Ini terbukti dengan filosofi hidup
yang begitu arif bijaksana dan berwawasan jauh ke depan serta sikap waspada
yang luar biasa (waspada permana tinggal) dari para leluhur mereka. Hal ini
dibutikan dengan dibentuknya dua komunitas generasi penerus kesukuan mereka
sekaligus dengan aturan hukum adatnya masing-masing yang sarat dengan cirri
khas dan perbedaan, namun mampu mengikat menjadi satu kesatuan Baduy yang utuh
(Kurnia 2010:9).
Mengapa aliran Ekologi (Ecologism)
dan Ekologi Politik (Political Ecology) cenderung digolongkan sebagai
praksis dari Deep Ecology Ethics? Menjawab
pertanyaan ini kita juga perlu melihat kembali pengertian ecologism dan political
ecology. Ecologism
menyatakan bahwa keberlanjutan dan pemenuhan eksistensi
mensyaratkan perubahan radikal dalam hubungan kita dengan alam non-manusia, dan
dalam cara kehidupan
sosial dan politik.
Sedangkan ecological politics berfokus pada bagaimana
politik untuk akses
dan kontrol atas tanah dan sumber daya yang terkait dengan perubahan lingkungan.
Apa yang disodorkan oleh
biosentrisme dan ekosentrisme sebenarnya hanya revitalisasi cara pandang dan
perilaku masyarakat adat dalam interaksinya dengan alam. Dengan kata lain,
etika lingkungan hidup yang diperjuangkan dan dibela oleh biosentrisme dan
ekosentrisme adalah kembali kepada etika masyarakat adat, yang dipraktikkan
oleh hampir semua suku asli di dunia, tetapi tenggelam di tengah dominasi cara
pandang dan etika Barat Modern (Keraf 2002: xix).
Aliran
Ekologi (Ecologism) dan Ekologi Politik (Political Ecology)
cenderung digolongkan sebagai praksis dari Deep Ecology Ethics karena cara pandang ini memenuhi 8 platform
yang ditetapkan oleh deep ecology ethics dan menunjukkan kedalaman spiritualitas dimiliki
oleh paham ini. Berdasarkan contoh, paling tidak ada
perubahan kebijakan dan ideologi yang sedang diusahakan untuk kemaslahatan dan
keberlangsungan well-being manusia
(terutama masyarakat adat dalam contoh ini) dan alam lingkungannya.
PENUTUP
Terlepas dari dimanapun posisi kita apakah sebagai
penganut paham environmentalism ataupun ecologism, etika yang
tetap perlu kita terapkan adalah menjaga alam. Menurut agama yang dianut
penulis, manusia adalah khalifah di muka bumi. Pun terhadap berbagai kritik
terhadap teori antroposentrisme yang dituding sebagai sumber krisis ekologi
sekarang ini, terdapat perspektif yang agak lain diantaranya oleh W.H. Murdy
dan F.Frase Darling. Menurut Murdy, krisis lingkungan bukan disebabkan oleh
pendekatan antroposentris per se, melainkan oleh pendekatan
antroposentris yang berlebihan (Keraf 2002:31-41)
Berdasarkan pengertian dan contoh
yang telah disampaikan maka dapat dijawab bahwa environmentalism dan ecological
modernization cenderung digolongkan sebagai wujud praksis Shallow Ecology Ethics karena pada
tingkat implementasi paham ini, persoalan lingkungan hidup dan pengelolaan
sumberdaya alam dilakukan dengan pendekatan manajerial, tidak mengubah paradigma,
pragmatis serta menganggap manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Sedangkan aliran Ekologi (Ecologism)
dan Ekologi Politik (Political Ecology) cenderung digolongkan sebagai
praksis dari Deep Ecology Ethics karena
cara pandang ini memenuhi 8 platform yang ditetapkan oleh deep ecology
ethics dan menunjukkan kedalaman spiritualitas dimiliki oleh paham ini.
Berdasarkan contoh, paling tidak ada perubahan
kebijakan dan ideologi yang sedang diusahakan untuk kemaslahatan dan
keberlangsungan well-being manusia
dan alam lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Arizona, Y. 2013.
Peluang Hukum Implementasi Putusan MK 35 ke dalam Konteks Kebijakan Pengakuan
Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah dalam
Lokakarya “Fakta
Tekstual Quo Vadis Hutan Adat Pasca Putusan
MK No.35/PUU-X/2012“.
Bryant, R.L. and
S. Bailey. 1997. Third World Political Ecology. Routledge: London.
Dobson, A. 2007.Green Political
Thought.Fourth Edition. Routledge.London
Capra,Fritjof, David Steindl. 1991.Menyatu dengan Semesta: Menyingkap Batas
Antara Sains dan Spiritualitas. Jakarta : Fajar Pustaka
Kartodihardjo, H. 2012. Hutan
Negara Di Dalam Wilayah Masyarakat Hukum Adat: Doktrin, Fakta Dan Implikasinya Bagi Kelestarian Hutan. https://kartodihardjo.files.wordpress.com/2012/06/uji-materi-uu41-hk.pdf
Keraf , Sony A. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku
Kompas. Jakarta.
Kurnia, A.Sihabudin A. 2010. Saatnya Baduy Bicara. Jakarta : Bumi Aksara.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Rencana Strategis
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015-2019.
Muhammadi et al. 2001. Analisis
Sistem Dinamis. Jakarta :UMJ Press
Simarmata, R. 2013. Putusan MK No.35/PUU-X/2012 : Menggeser corak negara
hukum Indonesia. In J. Hakim & L.R. Wibowo, Jalan Terjal
Reforma Agraria di Sektor Kehutanan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perubahan Iklim dan Kebijakan
Sentanu, Erbe.2005. Quantum Ikhlas. Jakarta : Penerbit Elex Media
Computindo
Handadhari, T. (2015). Bom Waktu Perusakan Hutan Indonesia.
http://sains.kompas.com/read/2015/02/24/21223481/www.kompasprint.com
No comments:
Post a Comment